Tantangan Petugas Patroli: Berhadapan Langsung dengan Risiko Tinggi di Lapangan

Petugas patroli, baik dari Satuan Samapta (Sabhara) maupun Lalu Lintas (Lantas), merupakan garda terdepan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang kehadirannya bersentuhan langsung dengan masyarakat selama 24 jam sehari. Tugas mereka vital: menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) serta memberikan respons cepat terhadap setiap insiden. Namun, di balik seragamnya, terdapat Tantangan Petugas Patroli yang sangat besar, terutama risiko fisik dan psikologis yang mereka hadapi saat bertugas di lapangan. Dari mengurai kemacetan hingga menghadapi pelaku kejahatan bersenjata, Tantangan Petugas Patroli menuntut profesionalisme, kesiapan mental, dan keberanian yang tinggi. Sebuah laporan statistik dari Divisi Propam Polri pada Semester I Tahun 2025 mencatat bahwa insiden kekerasan dan perlawanan terhadap petugas yang sedang melaksanakan tugas patroli menunjukkan tren peningkatan di wilayah-wilayah urban padat, menggarisbawahi sifat berbahaya dari pekerjaan ini.

Salah satu Tantangan Petugas Patroli terbesar adalah potensi bahaya fisik yang tidak terduga. Petugas seringkali menjadi orang pertama yang tiba di lokasi kejadian yang berisiko tinggi, seperti perampokan yang sedang berlangsung, kecelakaan lalu lintas dengan korban jiwa, atau bahkan lokasi kerusuhan. Dalam situasi ini, mereka harus mampu menilai situasi dalam hitungan detik untuk mengambil tindakan yang tepat, yang mencakup melindungi warga sipil dan melumpuhkan potensi ancaman, seringkali dengan peralatan yang terbatas. Contoh nyata terlihat pada kasus penanganan balap liar: seorang Bripda Satuan Lantas harus berhadapan dengan sekelompok pemuda yang emosional dan tidak jarang melakukan perlawanan saat motor mereka disita. Petugas harus selalu waspada terhadap potensi kekerasan kolektif.

Selain ancaman fisik dari pelaku kejahatan, Tantangan Petugas Patroli juga datang dari lingkungan tugas itu sendiri. Polisi Lalu Lintas, misalnya, harus berdiri berjam-jam di bawah terik matahari atau hujan lebat saat mengatur arus kendaraan di persimpangan padat. Kondisi kerja ekstrem ini berdampak buruk pada kesehatan fisik jangka panjang. Untuk mengurangi risiko ini, Mabes Polri secara bertahap telah meningkatkan standar perlengkapan individu, termasuk menyediakan rompi antipeluru yang lebih ringan dan ergonomis bagi petugas patroli Samapta, yang distribusinya ditargetkan selesai pada akhir tahun anggaran 2026.

Di sisi psikologis, petugas patroli secara rutin terpapar pada peristiwa traumatis, mulai dari melihat korban kecelakaan berdarah hingga mendengarkan cerita pilu korban kekerasan. Paparan terus-menerus ini dapat menyebabkan stres pascatrauma (PTSD) atau kelelahan emosional (burnout). Oleh karena itu, dukungan institusional sangat penting. Divisi Psikologi Polri telah menjadwalkan sesi konseling dan debriefing wajib bagi petugas yang terlibat dalam penanganan insiden traumatis, yang harus diikuti paling lambat tiga hari setelah kejadian. Dengan demikian, pengakuan atas risiko tinggi yang dihadapi dan dukungan kesehatan mental yang memadai adalah kunci untuk menjaga profesionalisme dan keberlanjutan fungsi kepolisian di lapangan.